Gerakan tari telik sandi (Ronggeng Bugis)

Gerakan Tari Telik Sandi (Ronggeng Bugis)


Gerakan yang dilakukan menimbulkan kesan lucu, karena setiap gerakan mereka harus selalu waspada pada saat menjalankan suatu penyamaran, takut diketahui oleh para musuhnya. Meskipun dalam pelaksanannya lumayan sulit, karena terkadang sifat laki-lakinya muncul pada saat menari. Pakaian nya terdiri dari semacam kemeja perempuan bermotif, kain batik, slendang serta aksesoris seperti bunga yang diletakkan di kepala.


 Tari Ronggeng Bugis ini ialah salah satu dari banyaknya tarian tradisional yang ada di Jawa Barat. Yang dimana awal mulanya dinamakan seperti itu dikarenakan pada masa Sunan Gunung Jati terbebas dari Kerajaan Pakuan Pajajaran dan beliau pun menyatakan merdeka. Dan membuat suatu strategi untuk memata-matai Kerajaan Pakuan Pajajaran dengan melakukan penyamaran sebagai seorang penari ronggeng yang dilakukan oleh pasukan Bugis yang ada di Cirebon kala itu.

Sekian yang dapat saya jelaskan mengenai topik Tari Ronggeng Bugis. Jangan lupa untuk terus update mengenai topik-topik terbaru lainnya. Salam hangat dan hormat untuk readers semuanya.

Pada saat itu Kerajaan Cirebon dibantu oleh pasukan Bugis yang ada di Cirebon. Dengan menyamar sebagai ronggeng yang biasanya wanita ini digantikan oleh pria yang berdandan layaknya seorang penari wanita. Dari penyamaran yang dilakukan oleh para pasukan yang bermacam-macam jenisnya membawa kemenangan bagi misi pasukan Sunan Gunung Jati dan sekarang tarian ini menjadi fungsi seni pertunjukan bagi masyarakat.

Dan atas dasar penyamaran tersebut muncullah Tarian Ronggeng Bugis, yang semua penarinya adalah laki-laki dengan make up dan aksesoris perempuan. Juga mempunyai pandangan unik dan melambangkan keagungan sekelompok prajurit Sunan Gunung Jati dalam mengabdi kepada bangsa dan negaranya, walaupun cara apapun dilakukan asalkan tidak melanggar ketentuan yang diajarkan oleh agama.

Tari Ronggeng Bugis atau disebut Tari Telik Sandi ini merupakan pergelaran tari komedi yang dimainkan oleh penari laki-laki yang menggunakan busana wanita. Busana perempuan yang digunakan adalah busana mirip badut yang mengundang gelak tawa. Tari Ronggeng Bugis adalah tari tradisional yang berasal dari Cirebon. Secara harfiah dibagi menjadi dua kata yaitu Ronggeng dan Bugis. Dan secara umum Ronggeng adalah penari wanita menjadi teman menari sebagai bagiaan dari macam macam kesenian daerah di Indonesia. Dalam tarian ini para penari akan menggunakan make up tebal, bukan untuk terlihat cantik, namun untuk memberi kesan lucu. 

Bisa dilihat sendiri di gambar kalau make up yang digunakan seperti topeng. Sejarah singkat tarian ini adalah ketika kerajaan Cirebon menyuruh temannya dari Bugis memata-matai musuhnya. Musik yang digunakan untuk melatar belakangi tarian ini antara lain gong kecil, kecrek, dan kelenang. Gerakan tari mereka terkesan asal-asalan dan sesekali meniru gaya seorang bodor, komedian Cirebon. Beberapa adegan bahkan memungkinkan para penari ‘menggoda’ dan menghampiri penonton untuk ikut menertawakan tingkah mereka.

Ronggeng bugis menimbulkan kelakar dan gelak tawa bahkan bisa jadi sarkasme seksual, menertawakan keganjilan jenis kelamin dan gender penarinya yang kecentilan. Tapi kesan minor tersebut niscaya  sirna kalau kita simak penjelasan peraciknya, Handoyo MY.

Almarhum Handoyo yang merupakan seniman Cirebon sekaligus pendiri Sanggar Seni Pringgadhing, menurut salah seorang wartawan PR, Retno Heriyanto, adalah orang yang pertama kali mengangkat tari ‘telik sandi’ itu ke atas pentas. Handoyo membuat tarian ini dengan diiringi gending Cirebon dan sebuah tembang berjudul 'Angkut'.

Menurut Pak Han, dinamakan tari ‘telik sandi’ karena tari ini diangkat dari sebuah folklor (cerita rakyat) tentang telik sandi, intelejen atau mata-mata.

Tari ini menceritakan tentang sekelompok telik sandi yang menjadi pahlawan semasa Kesultanan Cirebon. Mereka adalah 'pasukan khusus' yang dibentuk Sultan Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.

Mereka tak lain adalah para pasukan asal Bugis yang ditugaskan untuk memata-matai wilayah Padjajaran yang akan ‘di-Islam-kan’.

Jadi, tari ini bukanlah sebuah gerakan asal-asalan atau bodoran belaka. Tari ini juga bukan sebuah gerak simbolik-spiritual yang maknanya transenden seperti tari panji, kelana ataupun lainnya. Tapi tari ini lebih merupakan rekonstruksi cerita lewat media gerak. Saya yakin, banyak sejarawan menyangsikan kebenaran cerita telik sandi yang disiarkan ronggeng bugis. Kesangsian itu terutama karena sumber tertulis yang terbatas. Hanya ada sumber lisan yang disiarkan secara turun temurun. Terlepas dari kesahihan historiografinya, sebagai sebuah folklor, tari ronggeng bugis menyimpan beberapa hal menarik yang sayang untuk dilewatkan.

Saya tidak tahu betul apakah pada zaman kesultanan ada hubungan diplomatik antara Cirebon semasa Sunan Gunung Jati dengan kerajaan Bugis. Rentang waktu yang cukup jauh dengan masa sekarang dan tak adanya catatan tertulis membuat siapapun mungkin akan sulit melacak hubungan ini.

Tapi andai hubungan antar kedua kerajaan memang pernah terjalin, maka mungkin benar para telik sandi tersebut berasal dari Bugis. Sebab, di daerah Bugis ada kelompok pendeta kuno pra Islam yang disebut bissu.

Komunitas bissu bukanlah laki-laki ataupun perempuan. Secara biologis kebanyakan dari mereka bahkan laki-laki (memiliki penis) dan sedikit yang perempuan (memiliki vagina). Tapi dalam penampilannya, para bissu lebih terkesan feminin.

Bissu dan tradisi transvestite (lelaki yang berperan sebagai perempuan) mempunyai sejarah yang amat panjang di tanah Bugis. Mereka dipercaya sudah ada sejak ratusan tahun silam dan punya posisi sosial, agama dan politik yang cukup tinggi di tengah masyarakat.

Bissu dalam naskah La Galigo bagi orang Bugis laiknya seorang Hermes yang menjembatani antara bumi dan langit. Konon, para bissu punya bahasa sendiri (basa Torilangi) untuk berkomunikasi dengan dewata. Karena kekuatannya itu, banyak dari mereka yang menjadi penasihat raja.

Hingga sekarang, tradisi bissu masih lestari dan menyebar di daerah Bone, Sigeri, Soppeng, Luwu dan Poliwali di Sulawesi Selatan.

Tapi apakah para pasukan ‘telik sandi’ yang diceritakan tari ronggeng bugis merupakan bissu atau bukan, masih belum terjawab. Namun mereka yang diutus dari Bugis ke Cirebon untuk menjadi intelejen pastinya adalah orang-orang terpilih, bukan orang buangan. 

Selain itu, hal penting lainnya yang patut dicatat dalam tari ronggeng bugis adalah tentang sejauh mana masyarakat Cirebon menerima sosok laki-laki yang menyerupai perempuan. 

Merujuk folklor yang lain tentang Nyi Mas Gandasari saat berperang melawan Kerajaan Rajagaluh, maka kuat dugaan ada ‘penerimaan’ secara sosial dari masyarakat Cirebon terhadap kaum transvestiteatau bahkan transgender.

Dalam salah satu versi cerita saat Cirebon menyerang Rajagaluh, Nyi Mas Gandasari diceritakan sebagai sosok ‘ambang-pintu’ yang bukan laki-laki, bukan pula perempuan. Dalam cerita yang lain bahkan dia dikisahkan memiliki penis. 

Betapa paradoksnya identitas Nyi Mas Gandasari terlihat dari penggambaran tentang dia dalam cerita tutur. Nyi Mas Gandasari digambarkan sangat ayu hingga menjadi rebutan banyak pembesar kerajaan sekitar Cirebon. Sekaligus dia kuat dan sakti mandraguna melebihi kekuatan para lelaki. 

Lebih lanjut, siapa dan bagaimana sosok ini bisa dibaca di tulisan saya yang lain di blog ini, Bertemu Nyi Mas Gandasari.

Yang pasti, Nyi Mas Gandasari menjadi sosok yang amat dihormati masyarakat Cirebon hingga sekarang. 

Penghormatan itu terbukti dengan legendanya yang dikenal luas dan diingat di luar kepala oleh masyarakat Cirebon. Makamnya di Panguragan pun selalu ramai diziarahi orang-orang dari berbagai daerah.

Kalau semua hipotesa di atas benar, maka satu lagi bukti bahwa Cirebon adalah daerah pantai yang terbuka dan egaliter. Cirebon menerima semua orang dari daerah manapun dengan latar belakang apapun di bawah bendera kesetaraan berlandaskan ajaran Islam yang rahmatan lil 'alamin.***
   

0 komentar:

Posting Komentar