Keberadaan tari ronggeng bugis di masyarakat
Ronggeng Bugis adalah ronggeng yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan. Keberadaan Ronggeng Bugis ini berawal saat Sunan Gunung Jati pada tahun 142 Masehi menyatakan kemerdekaan negara Cirebon, yang terlepas dari kekuasaan Maharaja Pakuan Pajajaran. Pada saat itu, negara Cirebon memiliki pasukan Telik Sandi (Prajurit Sandi Yuda) yang melakukan kegiatan spionasi di wilayah Pajajaran untuk mengetahui reaksi dari pernyataan kedaulatan penuh negara Islam Cirebon. Pasukan tersebut merupakan yang anggotanya terdiri atas orang-orang berani, bermental kuat serta pandai menyamar. Menurut sumber tradisi lisan, dalam perjalanan waktu yang panjang, kerajaan Cirebon dibantu prajurit-prajurit Bugis, baik di Era Galuh, masa Portugis, maupun masa Kolonial. Keberadaan prajurit Bugis dalam waktu cukup lama telah menyebabkan mereka membentuk komunitas lengkap dengan budaya asal mereka.
Secara umum, kata ronggeng adalah penari wanita atau tandak, primadona sebagai teman menari, misalnya pada tayuban. Bugis adalah nama tempat yang sekarang dikenal dengan Makasar. Dengan demikian, pengertian Ronggeng Bugis adalah tarian yang berasal dari Bugis. Dari penyamaran inilah kemudian muncul tarian Ronggeng Bugis,
Tari ronggeng bugis merupakan tari tradisional yang berasal dari Cirebon. Tarian ini bersifat komedi. Tarian ronggeng bugis biasa dilakukan oleh penari laki-laki sebanyak 12 – 20 orang dengan dandanan dan gaya menari layaknya perempuan.
Asal mula tarian ini, dilatarbelakangi oleh ketegangan yang terjadi antara kerajaan Cirebon dengan kerajaan Islam. Sunan Gunung Jati sebagai Raja Cirebon saat itu menyuruh seorang kerabat dari kerajaan yang berasal dari suku bugis untuk mengawasi kerajaan Padjajaran.
Alat musik pengiring tarian ini adalah kelenang, kendang, gong kecil, dan kecrek. Tarian Ronggeng Bugis membuka pertunjukan malam itu di Desa Bulak, sekitar 1 jam berkendara dari pusat kota Cirebon, Jawa Barat. Ratusan warga berkerumun memenuhi bagian depan panggung.
Di atas panggung, 9 penari laki-laki berpenampilan seperti perempuan. Mereka menampilkan gerakan-gerakan jenaka, seperti berpura-pura jatuh. Menurut pelatih tari Doddie Yulianto, tarian ini sangat erat kaitannya dengan sejarah Cirebon.
"Tari ini justru tarian yang menceritakan tentang pasukan telik sandi ataupun intelijen atau spionase era Sunan Gunung Jati yang diterjunkan dalam berbagai peristiwa penting yang pernah dilewati dalam sejarah Cirebon. Seperti penaklukan Banten, penaklukan Sunda Kelapa, Talaga, dan juga daerah Rajagaluh Majalengka," kata Doddie.
Dalam tarian ini ada beragam gerakan. Misalnya gerakan ala intel, seperti menutup mulut atau pasang telinga baik-baik. Kata Doddie, gerakan ini menggambarkan bagaimana seharusnya para pendakwah dan aktivis toleransi menyampaikan pesan damai di tengah-tengah masyarakat.
“Bagaimana telik sandi bisa mampu masuk ke dalam masyarakat, melebur. Bahkan semua nggak merasa bahwa itu sebagai pasukan intelijen. Nah kemampuan itu yang harusnya para pendakwah, para pegiat-pegiat toleransi, pegiat deradikalisasi menggunakan seperti itulah filosofinya,” ujarnya.
Pertunjukan tari Ronggeng Bugis ini adalah bagian dari acara Njujug Tajug, yang artinya ‘Mengunjungi Musala’. Kegiatan ini diselenggarakan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), Nahdlatul Ulama Cirebon.
Rombongan Nujug Tajug akan berkeliling dan mengunjungi 8 desa untuk menggelar pertunjukan. Desa Bulak ini adalah desa pertama yang dikunjungi.
Manajer Program Njujug Tajug, Agung Firmansyah menjelaskan, ke-8 desa itu dipilih karena punya rekam jejak buruk soal intoleransi.
“Baik itu krisis toleransi antarumat beragama maupun krisis toleransi intraumat beragama atau yang terindikasi memiliki jaringan dengan kelompok-kelompok ekstrimis. Nah penguatan seni dan budaya di lokasi-lokasi tersebut kami pandang perlu dan penting agar masyarakat mampu membentengi dirinya dari paham-paham intoleran, paham-paham ekstrim tersebut,” kata Agung.
Selain Tari Ronggeng Bugis, warga juga bisa menikmati aneka pertunjukan kesenian lainnya. Seperti wayang kulit. Bedanya, lakon yang dipetaskan dibuat khusus, dengan tema keberagaman
“Kami create berjudul putri Ong Tien. Jadi menceritakan tentang salah satu istri Sunan Gunung Jati yang berasal dari Cina. Yang kami tekankan dalam cerita tersebut adalah tentang keberagaman, kemajemukan yang sudah semenjak dahulu diakui di tanah Cirebon. Tenggang rasa dan keharmonisan yang terjalin di antara bangsa-bangsa yang tinggal di Cirebon itu sudah dicontohkan oleh Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati,” kata Agung. Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, Aziz Hakim Syaerozi mengatakan, dalam kegiatan ini warga yang berkunjung ke musala juga ikut membersihkan tempat ibadah. Ini dilakukan untuk menumbuhkan ruang bagi kegiatan sosial dan budaya sehingga tak ada sekat antar warga.
“Tajug yang menjadi ikon 'sarang gerakan radikalisme', karena mereka juga biasanya menguasai tajug-tajug dan menguasai masjid-masjid, maka kita perlu menghubungkan bagaimana tajug ini berfungsi seperti fungsi waktu zaman Sunan Gunung Jati. Tidak sekedar sebagai tempat beribadah, tapi bagaimana tajug ini juga menjadi ruang bagi kegiatan sosial, baik itu sosial ekonomi maupun sosial budaya,” katanya.
Provinsi Jawa Barat adalah juara bertahan untuk kasus intoleransi di Indonesia. Pelaku kasus bom bunuh diri di Kantor Polresta Cirebon, JW Marriot Jakarta dan Gereja Bethel Solo berasal dari Cirebon.
Aziz Hakim Syaerozi mengatakan, jika dilihat dari sejarah, Cirebon justru menjadi daerah yang sangat toleran. Namun tak bisa dipungkiri, Kota Cirebon yang strategis di pesisir utara Jawa membuat banyak orang singgah. Akibatnya, Cirebon rentan terhadap masuknya gagasan radikalisme.
“Kalau bicara soal sejarah maka tidak ada alasan Cirebon ini radikal, tidak ada alasan Cirebon ini intoleran. Karena para kesultanan kita terutama Sunan Gunung Jati, itu sudah memberikan contoh di tengah-tengah masyarakat Cirebon bahwa antar masyarakat baik perbedaan agama, suku maupun bahasa, ini bukan menjadi persoalan,” jelasnya.
Menurut Aziz, sikap kemanusiaan bisa dimunculkan lagi lewat kesenian tradisional.
“Jika mereka mencintai budaya, kemudian memahami pesan-pesan budaya dan seni itu, maka akan lahir masyarakat yang sangat terbuka, masyarakat yang menghargai perbedaan, dan masyarakat yang menghargai pluralitas,” kata Aziz. Cirebon adalah salah satu zona merah radikalisme di Jawa Barat. Nahdlatul Ulama setempat memakai kesenian tradisional untuk menangkal penyebaran paham radikalisme. Jurnalis KBR Astri Yuana Sari melihat acara Njujug Tajug di Cirebon. Cirebon adalah salah satu zona merah radikalisme di Jawa Barat. Nahdlatul Ulama setempat memakai kesenian tradisional untuk menangkal penyebaran paham radikalisme. Jurnalis KBR Astri Yuana Sari melihat acara Njujug Tajug di Cirebon. Dalam pertunjukan tarian ini menyuguhkan gerak-gerak seperti perempuan, tetapi tetap saja terlihat kaku dan lucu karena ditarikan oleh laki-laki, sebagai gambaran seorang suami yang sedang melakukan prosesi mendem ari-ari tersebut. Dalam tarian ini para penari akan menggunakan make up tebal, bukan untuk terlihat cantik, namun untuk memberi kesan lucu. Bisa dilihat sendiri di gambar kalau make up yang digunakan seperti topeng.
Sejarah singkat tarian ini adalah ketika kerajaan Cirebon menyuruh temannya dari ras Bugis memata-matai musuhnya.
0 komentar:
Posting Komentar