Seni tradisional adalah unsur kesenian yang menjadi bagian hidup masyarakat dalam suatu kaum,
suku, dan bangsa tertentu. Tradisional adalah aksi dan tingkah laku yang keluar
secara alamiah karena kebutuhan dari nenek moyang yang terdahulu. Karena
sifatnya yang melekat dengan hidup masyarakat, seni tradisional harus bersifat
nyata. Untuk menjaga aktualisasi seni tradisional langkah-langkah preservasi
perlu dilakukan agar seni tradisional tidak musnah.
Keanekaragaman
bahasa itu menjadikan keunikan tersendiri yang dimiliki kota ini, tidak hanya
itu dengan menggali lebih dalam kota ini, keanekaragaman bahasanya lebih ragam
lagi dengan kebudayaan dan seni yang dimilikinya.
- Tari Tayub
Tayuban konon lahir di lingkungan kraton dan
digunakan untuk menghormati tamu-tamu agung juga digunakan untuk acara-acara
penting seperti pelakrama agung (perkawinan keluarga Sultan), tanggap warsa,
peringatan ulang tahun, papakan, atau sunatan putra dalem.
Tayuban
kemudian menyebar dan berkembang di masyarakat dengan pengaruh negative, baik
datangnya dari luar maupun dari dalam. Waditra yang digunakan adalah laras pelog,
gendang, bedug, saron, bonang dsb. Wiyaga berjumlah 15 orang.
Busana
Wiyaga bendo, baju taqwa, kain batik dan celana sontok. Busana Ronggeng kembang
goyang, melati suren, sanggung bokor, cinatok, sangsangan, krestagen dan alat
perhiasan.
2. Tari Topeng
Tari
Topeng pada mulanya hanya menjadi tontonan di lingkungan Kraton sebagai
tuntunan dalam penyebaran ajaran agama Islam kepada masyarakat.
Tari
Topeng ini sudah ada jauh sejak abad 10-11M yaitu pada masa pemerintahan Raja
Jenggala di Jawa Timur yaitu Prabu Panji Dewa. Melalui seniman jalanan Seni
Tari Topeng ini masuk ke Cirebon dan mengalami akulturasi dengan kebudayaan
setempat.
Pada
masa Kerajaan Majapahit dimana Cirebon sebagai pusat penyebaran agama islam,
Sunan Gunung Jati bekerja sama dengan Sunan Kalijaga menggunakan Tari Topeng
ini sebagai salah satu upaya untuk menyebarkan agama islam dan sebagai hiburan
di lingkungan Keraton.
Tari
Topeng Cirebon sendiri dapat digolongkan ke dalam lima karakter pokok topeng
yang berbeda yaitu :
· 3. Topeng Panji
Digambarkan
sebagai sosok manusia yang baru lahir, penuh dengan kesucian, gerakannya halus
dan lembut. Tarian ini bagi beberapa pengamat tarian merupakan gabungan dari
hakiki gerak dan hakiki diam dalam sebuah filosofi tarian.
· 4. Topeng Samba
Menggambarkan
fase ketika manusia mulai memasuki dunia kanak-kanak, digambarkan dengan
gerakan yang luwes, lincah dan lucu.
· 5. Topeng Rumyang
Merupakan
gambaran dari fase kehidupan remaja pada masa akhil balig.
· 6. Topeng Tumenggung
Menggambarkan
dari kedewasaan seorang manusia, penuh dengan kebijaksanaan layaknya sosok
prajurit yang tegas, penuh dedikasi, dan loyalitas seperti pahlawan.
· 7. Topeng Kelana atau Rahwana
Merupakan
visualisasi dari watak manusia yang serakah, penuh amarah, dan ambisi. Sifat
inilah yang merupakan sisi lain dari diri manusia, sisi “gelap” yang pasti ada
dalam diri manusia. Gerakan topeng Kelana begitu tegas, penuh dengan ambisi
layaknya sosok raja yang haus ambisi duniawi.
8. Tari Beksa
Tari
baksa yang merupakan salah satu jenis tarian khas masyarakat Desa Trusmi,
Kecamatan Weru. Baksa sendiri memiliki arti babak iyasa atau "yang pertama
berjasa". Gerakan-gerakan yang ada di dalamnya menggambarkan keperkasaan
dan kesiagaan serta tanggung jawab seorang prajurit atas keselamatan rajanya.
Tarian ini ditujukan sebagai bentuk penghargaan kepada para prajurit kerajaan
atau bagi petugas keamanan sebuah negara.
4 9. Tari Sintren (Tari Lais)
Kata
Sintren di bangun oleh 2 kata yaitu si dan tren, “si” atau “ia” dan tren atau
tri yang berarti “putri”, jadi arti dari sintren adalah “ia putri”, maksudnya
yang sebenarnya menari bukan lah si penari sintren, namun roh seorang putri,
yaitu sulasih, atau biasa di sebut Rr. Ratnamsari. Kesenian Sintren dikenal
juga dengan nama lais. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma
mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.
Kesenian
ini terkenal di pesisir utara Jawa Barat dan Jawa Rahasia Mistis Tari Sintren
Tengah khususnya Cirebon, berkembang antara lain di Indramayu, Majalengka,
Jatibarang, Brebes, Pemalang, Banyumas, Kuningan, dan Pekalongan.
Kesenian
Sintren berasal dari kisah Sulandono sebagai putra Ki Bahurekso Bupati Kendal
yang pertama hasil perkawinannya dengan Dewi Rantamsari yang dijuluki Dewi
Lanjar. Raden Sulandono memadu kasih dengan Sulasih seorang putri dari Desa
Kalisalak, namun hubungan asmara tersebut tidak mendapat restu dari Ki
Bahurekso, akhirnya R. Sulandono pergi bertapa dan Sulasih memilih menjadi
penari. Meskipun demikian pertemuan di antara keduanya masih terus berlangsung
melalui alam gaib.
Sintren
diperankan seorang gadis yang masih suci, dibantu oleh pawang dengan diiringi
gending 6 orang. Dalam perkembangannya tari sintren sebagai hiburan budaya,
kemudian dilengkapi dengan penari pendamping dan bodor (lawak).
9. Tari Bengberokan
Tarian
bengberokan adalah kesenian penolak bala yang hampir mirip dengan kesenian
barongsai dari Tiongkok. Pada awalnya tari ini dilakukan sebagai bagian dari
upacara ruwatan dalam menanggulangi pageblug (epidemi penyakit), menempati
rumah baru, dll. Namun, saat ini pertunjukan burokan lebih banyak dipakai dalam
memeriahkan pesta khitanan atau perkawinan. Selain itu tari Bengberokan
dimainkan juga pada upacara Ngunjung Buyut, yaitu upacara untuk menghormati
arwah leluhur di pekuburan desa-desa tertentu.
10. Tari Manggala Yuda
Tari
Manggala Yuda yang di ciptakan oleh seorang koreografer yang bernamana Elang
Herry Komarahadi. Tari Manggala Yuda ini dilatar belakangi cerita prajurit
keraton yaitu menceritakan tentang pimpinan pasukan perang yang menghadap
sultan untuk mengemban tugas serta memperlihatkan ketangkasan dan kesiapan
berperang dihadapan rajanya.
11. Tari Wayang
Tari
wayang mulai dikenal masyarakat pada masa kesultanan Cirebon pada abad ke-16
oleh Syekh Syarif Hidayatullah, yang kemudian disebarkan oleh seniman keliling
yang datang ke daerah Sumedang, Garut, Bogor, Bandung dan Tasikmalaya.
Berdasarkan segi penyajiannya tari wayang
dikelompokkan menjadi 3 bagian antara lain :
1. Tari Tunggal yaitu tarian yang dibawakan oleh
satu orang penari dengan membawakan
satu tokoh pewayangan. Contoh : Tari Arjuna, Gatotkaca, dan lain-lain.
2. Tari berpasangan, yaitu tarian yang dibawakan
oleh dua orang penari atau lebih yang
keduanya saling melengkapi keutuhan tariannya, contoh : Tari Sugriwa, Subali
dan lain-lain.
3. Tari Massal yang berjumlah lebih dari satu
penari dengan tarian atau ungkapan yang sama. Contoh : Tari Monggawa, Badaya,
dan lain-lain.
12. Tari Jaran Lumping
Tari
Jaran Lumping dahulu disebut juga Jaran Bari dari kata Birahi atau Kasmaran,
karena mengajarkan apa dan bagaimana seharusnya kita mencintai Allah dan
Rasulnya. Oleh karenaitu tarian Jaran Lumping digunakan sebagai alat dalam
mengembangkan agama Islam.Yang menciptakan Jaran Lumping adalah Ki Jaga Naya
dan Ki Ishak dari Dana Laya Kecamatan Weru. Waditra yang digunakan yaitu bonang
kecil, bonang Gede, panglima, Gendang, Tutukan, Gong, dan Kecrek.
Sarana
lainnya Damar Jodog, Sesajen, Pedupaan, Bara Api (Arang) dan Jaran Lumping 5
buah yaitu Jaran Sembrani, Jaran Widusakti, Jaran Widujaya, Jaran Sekadiu.
Busana penari menggunakan ikat wulung gundel meled, udeng merah, sumping kantil
dan melati, selendang, rompi, celana sontok, kestagen atau bodong dan kain
batik.
13. Tari Ronggeng Bugis
Ronggeng
Bugis atau Tari Telik Sandi adalah salah satu tari tradisional yang bersifat
komedi dari Cirebon. Tarian ini bersifat komedi karena dimainkan oleh penari
laki-laki sebanyak 12 - 20 orang dengan dandanan dan gaya menari layaknya
perempuan. Namun jangan salah walaupun bergaya wanita, makeup yang dipergunakan
oleh penari tidak kelihatan cantik justru bisa dibilang mirip baduk yang
mengundang gelak tawa.
Asal
mula tari Ronggeng Bugis, dilatarbelakangi ketegangan yang terjadi antara
kerajaan Cirebon dengan Kerajaan Islam. Sunan Gunung Djati sebagai Raja Cirebon
saat itu menyuruh seorang kerabat kerajaan yang berasal dari Bugis untuk
memata-matai atau saat itu dikenal dengan istilah telik sandi Kerajaan
Pajajaran. Waditra atau pengiring musik yang dipakai pada pertunjukan tari
telik sandi atau ronggeng bugis ini adalah alat musik tradisional jawa barat
antara lain Kelenang, Gong kecil, Kendang, Kecil, dan Kecrek.
0 komentar:
Posting Komentar